NYEPI - MENUJU PUNCAK KESADARAN


Setiap bangsa memiliki cara dalam melakukan penghitungan waktu atau kalender. Penghitungan waktu ada yang menggunakan pergerakan Bulan (Lunar) sebagai dasar perhitungan. Adapula yang menggunakan perhitungan berdasarkan pergerakan Matahari (Solar). Dan setiap satu putaran penuh akan terjadi pergantian tahun. Siklus yang baru pun dimulai. Dan seperti sudah menjadi tradisi, pergantian siklus atau tahun tersebut dirayakan dengan gegap gempita penuh dengan kemeriahan.

Bali, sebagai salah satu suku, juga memiliki perayan terhadap pergantian tahunnya sendiri. Ada perbedaan dari cara masyarakat Bali dalam merayakan dan memaknai pergantian tahun Saka. Dari sekian banyak perayaan pergantian tahun yang ada, mungkin hanya di Balilah yang melaksanakan pergantian tahunnya dengan menghentikan kegiatan kehidupan selama satu hari. Satu hal yang unik. Bahkan cara perayaan tahun baru ini tidak dilakukan di negeri asalnya yaitu India. Perayaan pergantian tahun tersebut dikenal dengan nama hari Nyepi. Kali ini penulis mencoba mengulas dan memberi pemaknaan terhadap prosesi Perayaan Nyepi/pergantian Tahun Saka yang ada di Bali. Dan tulisan ini lebih merupakan pandangan pribadi penulis, sebagai bahan pertimbangan dalam memberi makna pada perayaan Nyepi.

Perayaan tahun Saka tidak bisa lepas dari legenda rakyat Aji Saka. Artikel tentang legenda Aji Saka bisa klik disini. Sedangkan tentang sejarah munculnya perayaan tahun Saka bisa klik disini.

Proses pergantian tahun Saka yang diperingati dengan cara Sipeng/Nyepi dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian.  Bisa juga dimaknai dengan saat dimana kita mengembalikan alam ke kondisi alaminya. Kondisi alami ini digambarkan dengan masuk ke dalam alam kegelapan atau alam tidur lelap(Susupta). Proses ini kurang lebih bisa disamakan dengan kehidupan keseharian, dimana setelah satu hari bekerja, lalu dengan sadar masuk ke dalam kegelapan. Dalam kegelapan dimana segala sesuatu bergerak secara alami. Seperti halnya saat tertidur, mekanisme tubuh bekerja secara alami tanpa ada intervensi dari ego yang mengganggu. Disinilah tubuh kembali mencari bentuk utuhnya secara alami, setelah sehari melayani ego manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Untuk bisa masuk ke dalam alam tidur lelap (susupta), tentu harus ada keiklasan untuk melepas hal-hal yang masih mengganjal dan belum terselesaikan pada hari itu. Jika tidak, maka proses perpindahan dari alam sadar (jagra), akan terhenti sampai alam mimpi (swapena). Hal ini akan menghambat proses berpisahnya tubuh dari pikiran. Keberadaan pikiran akan menghambat tubuh masuk ke dalam alam susupta. Ini tidak akan memberikan ruang kepada tubuh untuk kembali ke bentuk alaminya. Itulah yang menyebabkan orang yang tidurnya diganggu mimpi, tidak bisa merasa segar pada saat bangun pagi.

Adanya keiklasan untuk melepaskan segala sesuatu baik yang terselesaikan maupun yang belum pada satu hari itu, akan memberikan ruang kepada sang tubuh sebagai wujud dari alam semesta untuk masuk ke alam tidur lelap (susupta), sementara sang diri masuk kedalam alam kesadaran murni (turyapada).

Dalam konteks Buana Agung, proses ini disimbolkan dalam prosesi pergantian tahun Saka yang dilaksanakan dengan nyepi atau sipeng selama 24 jam. Dimana segala kegiatan dihentikan dengan melakoni Catur Brata Penyepian. Karena manusia yang lebih banyak digerakan oleh pikirannya, maka manusialah yang kemudian diwajibkan melaksanakan Catur Brata Penyepian. Jeda satu hari inilah yang akan memberikan ruang kepada Buana Agung untuk kembali ke kondisi alamiahnya. Untuk terlepas selama satu hari dari pergerakan yang dipengaruhi oleh ego manusia. Kondisi alami inilah yang kemudian memberi manusia petunjuk kearah mana seyogyanya alam bergerak. Seperti halnya saat manusia terbangun dari tidur dan mulai berkehendak (ngembak geni).

PEMAKNAAN UPACARA NYEPI

Melasti atau mekiyis
Dilakukan beberapa hari menjelang nyepi. Prosesi yang dilakukan dengan mengusung sesuhunan menuju sumber air untuk disucikan. Dalam konteks Buana Agung, bisa dimaknai dengan pembersihan alam semesta. Sedangkan dalam konteks Buana Alit atau pemahaman secara esoteris, maka prosesi ini bisa dimaknai dengan membersihkan tubuh atau raga. Sang raga sebagai pratima, perwujudan alam semesta yang menjadi sesuhunan. Sang raga yang merupakan perwujudan dari kemulan, yang membawa tiga aspek pada diri manusia, yaitu Ang, Ung dan Mang (pikiran, emosi dan ambisi/nafsu). Setelah satu hari melayani sang diri, tiba saat dimana sang raga disucikan kembali. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah memandikan sang raga/tubuh dengan air bersih.

Mebakti di Bale Agung
Setelah pelaksanaan Melasti, dilanjutkan dengan menghaturkan bakti di Bale Agung atau Pura Desa. Prosesi ini dalam konteks buana alit atau pemahaman esoteric, bisa diartikan dengan mulai melepaskan pusaran pikiran. Bale Agung atau Pura Desa merupakan penggambaran aspek Ang manifestasi dari Pepineh (Rasionalitas). Dalam diri manusia posisinya di rongga kepala. Juga mewakili alam sadar (Jagra). Dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari di alam Jagra, manusia manusia lebih sering digerakan oleh pikirannya (pepineh). Untuk bisa masuk ke alam Susupta, perlu adanya kesadaran untuk menghentikan pusaran pikiran. Segala pekerjaan yang masih melekat dipikiran mulai dilepaskan/dilupakan. Sedangkan dalam konteks Buana Agung, adanya kesepakatan kolektif (menyatukan pepineh) untuk menghentikan kegiatan di alam Jagra yang banyak dikendalikan oleh pikiran manusia. Untuk mempersiapkan Buana Agung masuk ke dalam alam Susupta. Proses ini bisa diartikan menetralisir aspek negatif dari pikiran.

Tawur Agung
Prosesi berikutnya adalah menghaturkan Tawur Agung. Dalam pergerakan alam yang banyak dipengaruhi ego manusia, kemungkinan ada ego yang belum terpenuhi. Atau banyak target-target yang merupakan bagian dari ambisi manusia tidak terpenuhi. Ini menimbulkan ketidak-seimbangan secara emosional di alam semesta. Untuk menyeimbangkan (meredam) ego ini, kemudian dilaksanakan Pecaruan/Tawur Agung. Sedangkan dalam konteks Buana Alit atau pemahaman secara esoteris, dalam melaksanakan aktifitas, sering ego manusia menguras energinya tanpa memperhatikan kondisi tubuh. Kemungkinan ada banyak hal yang belum terselesaikan karena terbatasnya waktu. Ini bisa memunculkan gejolak emosi. Dalam hal ini hal yang paling mungkin adalah mengembalikan kondisi fisik dengan memberikan asupan makanan dan minuman. Dengan terpenuhinya kebutuhan makan dan minum sebagai tawur, diharapkan kondisi emosional akan menjadi stabil. Emosi merupakan aspek Ung dalam diri manusia. Posisinya ada dalam rongga dada. Prosesi ini bisa dimaknai dengan menetralisir aspek negatif dari emosi dalam diri manusia.

Ngerupuk
Lalu dilanjutkan dengan prosesi Ngerupuk, yang umumnya diartikan sebagai menghalau Bhutakala. Dalam konteks Buana Alit atau esoteris, tubuh manusia secara alamiah membawa aspek-aspek badaniah yang sering mewujud menjadi nafsu-nafsu badaniah (Bhutakala). Aspek badaniah ini merupakan sisi alamiah atau sisi instingtif manusia. Bagaimana pun, secara biologi, manusia adalah primate yang memiliki sisi instingtif. Agar tidak mengganggu, pada saat ngerupuk ini, aspek-aspek badaniah diekspresikan dengan teriakan dan memukul tabuh-tabuhan. Dalam psikologi dikenal dengan Katarsis.

Diharapkan dengan diberi ruang mengekspresikan dirinya, aspek-aspek badaniah (Bhutakala) tidak akan mengganggu pada saat manusia melakukan Tapa Brata Yoga Samadhi. Demikian juga pada konteks Buana agung. Pada saat ngerupuk ini masyarakat Bali mengekpresikan dirinya, sehingga segala gejolak nafsu bisa diredam pada saat hari Nyepi. Aspek badaniah yang membawa segala bentuk nafsu badaniah (Bhutakala) merupakan perwujudan aspek Mang atau aspek instingtif dalam diri manusia. Posisinya dalam tubuh manusia ada pada rongga perut. Proses ngerupuk bisa dimaknai menetralisir aspek negatif dari nafsu dan ambisi.

CATUR BRATA PENYEPIAN
Sedangkan pada saat hari Nyepi itu sendiri, orang Bali melaksanakan Catur Brata Penyepian yaitu Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan. Nyepi sendiri sebagai simbol kegelapan. Kegelapan alam semesta maupun kegelapan diri manusia. Dalam melaksanakan tapa brata penyepian, umat manusia berusaha menembus kegelapan dalam dirinya. Kegelapan yang paling gelap, untuk mencapai kesadaran diri yang tertinggi. Kesadaran yang melampaui ruang dan waktu (OM). Kesadaran diri tertinggi yang melampaui OM, yaitu kesadaran TAT.

Dari keempat brata penyepian, kami mencoba memaknai satu persatu, dimulai dari Amati Lelanguan. Sering diartikan untuk tidak bersenang-senang. Amati lelanguan menggambarkan pengendalian diri dari aspek badaniah yang bersifat instingtif (kesenangan-kesenangan badaniah). Dalam proses pengerupukan, dimana aspek badaniah diberi ruang untuk berekspresi, diharapkan pada saat melakukan tapa brata, aspek ini sudah memdapat pemenuhannya dan tidak mengganggu. Dalam Amati Lelanguan, bisa dimaknai dengan upaya mencapai kesadaran akan keberadaan aspek ragawi/Mang dalam diri. Serta mampu mengendalikan aspek negatif yang menyertainya.

Brata yang kedua yaitu Amati Lelungan. Sering diartikan dengan tidak bepergian. Pergi atau lunga merupakan sebuah pergerakan/dinamika. Sehingga bisa juga dimaknai sebagai penghentian dinamika. Yang dinamis dalam diri manusia adalah emosi. Dalam proses tawur agung, diharapkan gejolak emosi bisa dihentikan. Dan dalam Amati Lelungan, bisa dimaknai dengan adanya kesadaran untuk menghentikan atau mengendalikan gejolak emosi, yang merupakan perwujudan Ung dalam diri.

Brata yang ketiga, yaitu Amati Karya. Pada umumnya dimaknai dengan tidak melakukan pekerjaan. Esensi dari pekerjaan adalah penciptaan. Penciptaan bersumber dari bekerjanya pikiran dalam diri manusia. Amati karya bisa dimaknai dengan menghentikan  kerja yang merupakan kelanjutan dari proses penciptaan yang bersumber dari pikiran. Dengan kata lain, menghentikan kerja pikiran yang digambarkan dengan mebakti di Bale Agung/Pura Desa. Dalam Amati Karya, bisa dimaknai dengan kesadaran menghentikan kerja pikiran, yang merupakan wujud Ang dalam diri.

Brata keempat yaitu Amati Geni. Sering diartikan dengan tidak menyalakan api. Dalam konteks buana alit, api yang dimaksud tentu bukanlah api fisik, melainkan daya kehendak aktif (active will). Manusia yang bergerak dengan kehendak aktif (Active will) dalam dirinya merupakan perwujudan alam semesta (OM). OM yang bergerak merupakan aspek pradana dari alam semesta. OM sebagai ambang ruang waktu. Pada saat melakukan brata Amati Geni, diharapkan manusia menyadari keberadaan dirinya sebagai perwujudan alam semesta yang digerakan oleh daya kehendak aktif (Geni). Dengan menyadari keberadaan Geni dalam diri ini, kesadaran akan bergerak lebih jauh menuju pada tingkat kesadaran TAT (kesadaran semesta). Kesadaran Purusa dari alam semesta. Kesadaran yang satu, yang tidak terpecahkan dan tidak terdefinisikan. Ini merupakan kesadaran tertinggi yang bisa dicapai. Karena diatas TAT, yang ada adalah kekosongan atau kesunyataan. Atau disebut SAT. Dimana pada tatanan SAT, tidak ada apa-apa.  Termasuk kesadaran, atau Siwa, atau apa pun namanya. Yang ada hanya kekosongan atau Sunya. OM adalah kesadaran diri. TAT adalah kesadaran semesta. Sedangkan SAT adalah realitas tertinggi, yang melampaui kesadaran.

NGEMBAK GENI
Selanjutnya keesokan harinya dilanjutkan dengan upacara Ngembak Geni. Setelah manusia melakukan tapa brata yoga semadi pada saat nyepi, dimana kesadaran sang diri sejati telah bersatu dengan kesadaran semesta. Kesadaran diri sejati  (OM) yang luluh dengan kesadaran universal (TAT). Atau kesadaran alam semesta. Maka pada hari berikutnya setelah geni dipadamkan saat melakukan brata Amati Geni, manusia mulai menyalakan api dalam dirinya. Yang berbeda adalah penyalaan api dalam diri ini dilakukan dalam kesadaran penuh. Adanya kesadaran untuk turun dari kesadaran TAT, memasuki ruang dan waktu ketatanan kesadaran OM (active will). Dan kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Yang berbeda adalah, menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran. Dan seyogyanya manusia dalam menjalani kehidupan menjaga kesadarannya pada tatanan kesadaran OM. Sebelum akhirnya kembali melepaskan kesadaran pada TAT, dan menyatu ke realitas yang agung, yaitu SAT.



SAT – TAT – OM
Dalam kesadaran AKU mewujud dan bermain di Lila Bhuana

OM – TAT – SAT
Dengan kehendak AKU lebur dan kembali menuju dari mana AKU berasal




Denpasar, Bali
17 Februari 2016
Buda Pahing Wuku Kuningan