JAYAPRANA LAYONSARI - HARI VALENTINE DALAM PERSPEKTIF ORANG BALI


Dalam rangka hari Valentine atau hari kasih sayang, penulis kali ini sengaja menampilkan cerita Jayaprana dan Layonsari. Kisah cinta yang menjadi melegenda dan melekat dengan rakyat Bali. Sebuah kisah yang akan kami ulas dengan pemahaman dari sudut pandang berbeda. Tentunya dengan makna yang hendaknya bisa menjadi suluh ke dalam diri.

Cerita dimulai dengan suasana desa Kali Anget yang terlihat hancur dan menyedihkan karena terserang wabah penyakit atau “grubug”.Banyak warganya yang meninggal dunia. Salah satunya, seorang anak kecil, I Jayaprana yang menjadi yatim piatu. Hidup sebatang kara, ditinggal mati oleh kedua orang tua dan saudaranya akibat dari wabah tersebut. Raja yang kala itu turun meninjau desa Kali Anget, merasa iba dan membawa anak yatim piatu itu ke istana.

Singkat cerita, ketika menginjak remaja I Jayaprana terlihat kelebihannya. Paras mukanya tampan dan senyumnya pun sangat menawan dan simpatik. Ditambah kerajinan dan kecerdasannya membuat Raja sangat menyayanginya.

Pada suatu hari, karena dipandang sudah cukup umur, Baginda Raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana untuk dijadikan istri. I Jayaprana pun “cuci mata” ke pasar yang ada di depan istana, hendak melihat para gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Kecantikan gadis itu begitu mempesona. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.

Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya. Dan sebaliknya Ni Layonsari pun sangat gundah hatinya ketika beradu pandang dengan pemuda tampan yang sedang duduk-duduk di depan istana. I Jayaprana telah memutuskan dan menjatuhkan pilihannya. Ia bergegas kembali ke istana melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh Baginda dan kemudian Raja pun menulis sepucuk surat.

I Jayaprana lalu dititahkan untuk membawa surat itu ke rumahnya Jero Bendesa. Singkat cerita, I Jayaprana tiba di rumah Jero Bendesa. Setelah memberi hormat, Ia pun menyerahkan surat yang dibawanya kepada Jero Bendesa. Jero Bendesa menerima dan membacanya. Rupanya itu adalah surat pinangan dari Baginda Raja terhadap putrinya Ni Layonsari untuk dinikahkan dengan I Jayaprana. Jero Bendesa pun setuju dan memberi restu apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana.

Setelah ia menyampaikan isi hatinya dan persetujuannya kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali. Raja pun senang mendengar berita gembira tersebut dan mengumumkan hari pernikahan Jaya Prana dan Layon Sari.

Ketika tiba harinya, datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Ketika menatap wajah Ni Layonsari, Sang Baginda Raja pun terpana dan terpesona melihat kecantikan wajah dan kemolekan tubuh Ni Layonsari. Baginda Raja terdiam membisu tak dapat bersabda, kagum akan pesona Ni Layonsari. Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembali ke rumahnya. Sementara Raja yang jatuh cinta dan kasmaran akan kecantikan Ni Layonsari,  menyusun rencana jahat untuk membunuh I Jayaprana sehingga bisa memiliki Ni Layonsari seutuhnya.

I Jayaprana yang sangat berbahagia bersama  I Layonsari, pada hari ke tujuh dikejutkan datangnya seorang utusan raja, dengan tujuan memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Raja bersama para patih sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi segera berangkat ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun berakhir. I Jayaprana pulang kembali. Ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil rapat di paseban kepada istrinya.

Malam harinya, dalam tidurnya, Ni Layonsari bermimpi. Rumahnya dihanyutkan banjir besar. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menceritakan isi mimpinya yang sangat mengerikan itu kepada suaminya, I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya ke Teluk Terima dibatalkan. Ni Layonsari merasa mendapat firasat buruk  berdasarkan mimpinya tersebut. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Ia menyerahkan hidup dan matinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan pagi-pagi sekali, I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan.

Singkat cerita, mereka tiba di sebuah hutan di Celuk Terima. Kemudian Patih Saunggaling menyerahkan sepucuk surat yang ditulis oleh sang baginda raja. I Jayaprana menerima surat itu lalu membacanya. I Jaya Prana menyadari keinginan baginda raja untuk merebut istrinya. Dan kepergian mereka ke Teluk Terima hanyalah akal bulus untuk membunuh dirinya. Karena itu sudah kehendak Baginda Raja, serta Ia merasa tidak mungkin melawan Patih Sawunggaling beserta para punggawa, Jaya Prana pun merelakan hidupnya. Sawunggaling pun menghujamkan kerisnya. Darah menyembur. Diiringi bau harum semerbak. Tiba-tiba Bumi bergetar dan angin topan entah darimana datangnya. Lalu diakhiri dengan turunnya hujan bunga. Patih Sawunggaling dan rombongan pun tersentak. Menyadari apa yang telah mereka lakukan.

Sang Patih kembali ke kerajaan membawa berita kematian Jayaprana. Sang Raja pun tersenyum. Dan mulai berpura-pura menangis menyampaikan berita duka ini kepada Ni Layonsari. Dengan tipu muslihatnya, Baginda Raja meminta Ni Layonsari tinggal di istana saja menemaninya. Ni Layonsari yang curiga dengan perilaku raja, menolak tawaran itu. Ia akhirnya membunuh dirinya setelah berhasil menemukan dan melihat kuburan I Jayaprana. Dan akhirnya jasad I Jayaprana dan Ni Layonsari pun disatukan dalam satu kuburan. Kisah mereka pun diceritakan turun temurun, yang akhirnya menjadi legenda kasih sayang dan cinta sejati di tanah Bali.

PEMAHAMAN
Ada sebuah pelajaran tentang kehidupan yang bisa dipetik dari kisah ini. Jayaprana bisa diartikan sebagai “Dia yang menguasai energi hidup”. Jaya berarti kekuasan/penguasa, Prana berarti energi kehidupan. Yaitu kesadaran, keberadaan Tuhan dalam diri setiap manusia (Siwa). Kesadaran ini memberikan rasa optimis dan antusiasme dalam menjalani kehidupan. Sedangkan Layonsari bisa diartikan “Kesucian sang tubuh (raga)”.  Layon berarti jasad atau tubuh, sedangkan Sari berarti Kesucian.

Jayaprana menggambarkan sisi maskulin atau purusa. Yang merupakan sisi Ilahi dalam diri manusia. Sedangkan Layonsari mewakili sisi feminin atau pradana. Yaitu aspek tubuh. Dalam kerangka berpikir Tantra, yaitu pelampauan dualitas (Adwaita), seyogyanya Jayaprana bersatu dengan Layonsari, di mana sang tubuh bersatu dengan energi yang menggerakan. Dengan kata lain, menyerahkan sang Raga digerakan oleh Siwa (Siwaraga). Dan ini hanya bisa dilakukan ketika seseorang berada dalam kondisi yang meditatif (no-mind state). Namun kemunculan Ahamkara atau super ego (diwakili oleh Sang Raja) membuat Jayaprana terpisah dari Layonsari. Ahamkara atau super ego manusia menghasilkan Manas (pusaran pikiran) yang diwakili oleh Patih Sawunggaling, yang meniadakan kesadaran yang merupakan energi hidup (membunuh Jayaprana). Sehingga sang Raga atau tubuh dikendalikan oleh Ahamkara. Ini membuat tubuh kehilangan kesadaran atau energi  hidupnya. Dalam artian, seseorang yang tidak memiliki energi hidup atau antusiasme dalam menjalani kehidupan, maka dia bukan lagi “Layonsari”, melainkan hanyalah sebatas “Layon” saja. Alias mayat hidup.

Leluhur orang Bali dari dulu sudah sangat terbuka terhadap masuknya budaya dari luar. Terbukti ada banyak budaya Bali yang akarnya adalah budaya luar Bali. Namun, leluhur orang Bali sangat cerdas. Budaya luar itu kemudian diserap dan diolah lagi sehingga menjadi sesuatu yang baru dan berbeda. Menjadi sesuatu yang memiliki nilai spiritual yang tinggi dan penuh dengan makna. Demikian juga perayaan hari Valentine. Momen ini bisa diolah untuk mengangkat kisah Melodrama Jayaprana – Layonsari ke permukaan dan menciptakan tren baru pada anak muda. Sebagai contoh, pada saat Valentine, tradisinya adalah mengungkapkan perasaan kepada calon kekasih dengan memberi coklat dan bunga. Di Bali bisa saja dibuat tradisi baru dengan memberi selendang dan kuangen sebagai pernyataan cinta. Dan tentunya, selendang dan kuangen di desain sedemikian rupa sehingga tampak indah dan cantik. Tentu ini hanyalah sebuah ide, yang bukan mustahil bisa terjadi. Dan, jika itu bisa dilaksanakan, alih-alih melakukan penolakan terhadap perayaan Valentine, akan muncul tradisi baru dalam merayakan Valentine. Kuangen dan selendang menjadi laris. Kisah Jayaprana dan Layonsari yang terangkat ke permukaan, tidak mustahil menjadikan makam mereka menjadi obyek wisata baru.



Denpasar, Bali
14 Februari 2016
Redite Wage wuku Kuningan